1. Sejarah Puputan Margarana
Ladang-ladang jagung di Marga, Tabanan, Bali yang lebat dan tinggi menjadi benteng terakhir pertahanan pasukan Tjiung Wanara pinpinan Letnan Kolonel I Gusti Ngoerah Rai. Marga di Kabupaten Tabanan adalah babak terakhir hidup penuh perjuangan Ngoerah Rai, pemuda kelahiran Carangsari, Badung, 30 Januari 1917 ini.
Usianya baru 29 tahun ketika itu. Setelah Proklamasi Kemerdekaaan dikumandangkan, Ngoerah Rai menjadi Komandan Resimen Sunda Ketjil. Ia dan pasukannya, Tjiung Wanara, kemudian melakukan longmarch merayakan proklamasi ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Pasukan ini kemudian dicegat serdadu Belanda di Desa Marga.
Pada 20 November 1946 sejak pagi-pagi buta tentara Belanda mulai nengadakan pengurungan terhadap Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara pasukan Nica dengan pasukan Ngurah Rai. Pasukan pemuda Tjiung Wanara yang siap dengan pertahanannya menunggu komando Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan membalas sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda. Dengan senjata rampasan, Tjiung Wanara berhasil memukul musuh.
Namun, pertempuran belum usai. Kali ini, bukan hanya letupan sejata yang terdengar, NICA menggempur pasukan muda Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan sawah dan ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian penuh asap dan darah.
Pada pertempuran yang seru itu pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat pengebom yang didatangkan dari Makasar. Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan "Puputan" sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih kurang 400 orang yang tewas.
Perang sampai habis atau puputan inilah yang mengakhiri hidup Ngurah Rai. Ini yang kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah sejarah penting perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial Belanda.
2. Monumen Puputan Margarana
Ladang jagung itu kini berubah menjadi Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana. Sebuah tugu segi lima setinggi 17 meter dibangun di tengah areal monumen. Foto I Gusti Ngurah Rai terpasang di sisi depan tugu yang disebut Candi Pahlawan Margarana. Berdiri depan tugu ini seperti melompat ke masa lalu, mengingat para pemuda Bali yang kini namanya terpahat di nisan-nisan monumen.
Sesaji berupa canang (persembahan terbuat dari anyaman janur dan bunga) dan ceceran bungan terlihat di sekitar tugu. Sejumlah remaja juga tengah menyiapkan sesaji penghormatan pada Ngurah Rai dan 1371 orang pahlawan lainnya yang juga dimakamkan di kawasan ini.
“Jiwa Gusti Ngurah Rai akan terus abadi, walau sudah puputan. Beliau masih muda’. Proklamsi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945 tercakup dalam sejumlah simbol di tugu ini. Tinggi tunggu dibuat 17 meter, lalu jumlah meru atau tumpukkan tugu 8 (bulan kedelapan), jumlah anak tangga empat buah, dan tugu bersegi lima. Suasana sejuk, rindang, dan perbukitan di utara menambah asri kawasan monumen ini.
Setiap tahun, saat pergantian tahun ajar, ribuan siswa secara rutin mengunjungi tempat ini. Selain situs sejarah, kawasan ini memang sangat enak menjadi tempat rekreasi pendidikan. Bahkan untuk keluarga juga.
Kawasan ini terbagi menjadi beberapa bagian. Depan pintu masuk adalah Patung Panca Bakti. Yakni lima buah patung gerilya terdiri atas pemuda, buruh, alim ulama, tani, dan wanita tengah bergerilya, menggambarkan persatuan dalam perjuangan kemerdekaan. Bagian tengah berdiri Candi Pahlawan Margarana berisi foto Ngurah Rai dan surat penolakan berundingnya pada Belanda.
Bagian belakang adalah Taman Bahagia, terdiri dari 1372 buah nisan dari pejuang yang gugur. Nisan berarsitektur simbol agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen, mencerminkan keyakinan yang dianut pahlawan-pahlawan itu. Di sisi timur ada Gedung Sejarah berisi museum kecil yang merangkum jejak perjuangan I Gusti Ngurah Rai, persenjataan sederhana pasukan Tjiung Wanara, dan lainnya yang cukup menarik.
Di dalam areal taman terdapat tugu megah yang konon di bawahnya adalah tempat gugurnya I Gusti Ngurah Rai. I Gusti Ngurah Rai merupakan penggagas Puputan Margarana. Keputusan perang Puputan Margarana diambil setelah pasukan I Gusti Ngurah Rai dikepung dari seluruh sisi Desa Marga. Maka tak ada jalan lain selain perang habis-habisan (puputan). Satu-satunya yang berhasil lolos dari Puputan Margarana hanya I Wayan Sanur (alm), namun veteran perang kemerdekaan lain yang masih hidup sudah tinggal beberapa saja.
Pada sisi-sisi tugu terdapat potongan surat yang dikirim oleh I Gusti Ngurah Rai kepada NICA berisi penolakan perintah untuk tunduk pada NICA.Wantilan cukup luas mengapit lapangan, tepat di depan tugu. Setelah melewati jalan di belakang tugu, kita akan mendapatkan hamparan nisan para pahlawan dari seluruh Bali.
Pada sisi timur areal taman terdapat museum perjuangan Puputan Margarana. Seperti museum perjuangan yang lain terdapat peninggalan dari para pejuang misalnya senjata tajam dan api, pakaian para pejuang, peta pertempuran serta alat komunikasi yang dipakai saat perang kemerdekaan. Dan sudah menjadi tradisi setiap tanggal 20 Nopember diadakan ziarah ke Taman Pujaan Bangsa Margarana selain kegiatan rutin gerak jalan 45 Puputan Margarana.
Hanya saja kalau kita ingin memasuki areal jangan dalam keadaan tidak suci alis berhalangan. Dan ini telah terbukti ada orang kesurupan di dalam areal karena malu mengatakan sedang berhalangan. Suasana magis memang menyeruak di areal tersebut. Ini muncul barangkali letupan heroisme kejiwaan yang mendasari Puputan Margarana.